Rabu, 15 Desember 2010

Ilmu, Budaya Ilmu dan Peradaban Buku

Ilmu, pencarian ilmu, penyebaran ilmu memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam. Begitu banyak ayat dan hadist dapat dikutip untuk menerangkan hal ini. Pakar Ilmu Al Quran mengatakan pengulangan-pengulangan konsep-konsep kunci tertentu dalam Al Quran merupakan satu indikasi terhadap penekanannya atau makna penting konsep tersebut, konsep ‘ilm merupakan salah satu konsep yang banyak sekali disebutkan. Salah satu hadist yang bisa dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan keunggulan seorang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan bintang-bintang. Buku-buku klasik Islam semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali memulai kitab mereka dengan bab atau kitab mengenai ilmu. Peran penting ilmu diungkapkan secara ringkas oleh Imam Bukhari, Ilmu mendahului amal. Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan, “Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang tidak dilandasi pengetahuan akan runtuh.” Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi, ketika membahas seri pembahasannya mengenai kehidupan ruhaniah seorang muslim memulainya dengan pembahasan mengenai urgensi menegakkan kehidupan ruhaniah/ nuansa robbaniyah di atas landasan ilmiah. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi kehidupan spiritual yang terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang membimbing keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan gerakan Islam, beliau menempatkan prioritas sisi intelektual dan pengetahuan melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.
Peradaban islam klasik menjadikan ilmu menjiwai semua segi peradabannya Kecintaan terhadap pengetahuan, pemeliharaan terhadap pengetahuan dan penghargaan terhadap mereka yang berpengetahuan menjiwai peradaban muslim. Konsep ilmu, pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi peradaban Islam. Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan sebagaiman seorang orientalis, Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge in Medievel Islam’. Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim pertengahan.” Bahkan dalam konsep pengetahuan Islam pencarian ilmu, pengetahuan memiliki nilai kewajiban bagi individu maupun kolektif, fardu ‘ain dan fardu kifayah. Konsep pengetahuan dalam islam juga berhubungan dengan konsep ibadah, dimana pencarian dan penyebaran ilmu merupakan salah satu aspek ibadah. Seorang futurulog Muslim, Ziaudin Sardar, bahkan mengatakan sebenarnya peradaban muslim klasik yang tinggi itu secara keseluruhan ruhnya adalah pengetahuan : dengan mencarinya, menguasainya, membangun institusi untuk menyebarluaskannya, menuliskannya, membacanya, menyusunnya serta menumbuhsuburkannya.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu amat sangat terkait dengan adanya budaya ilmu di dalamnya, sebagaimana diungkapkan oleh Wan Moh. Nor Wan Daud. Budaya Ilmu merupakan prasyarat bagi kejayaan, kekuatan sebuah peradaban. Dari perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi tidak ditunjang oleh oleh budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya ilmu yang baik. Bangsa Jerman (yang masih biadab) terpaksa mengadopsi budaya Romawi yang ditaklukkannya, bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala justru malah terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat yang melibatkan diri dalam kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat, penghormatan terhadap ilmu dan orang berilmu, pemberian kemudahan, bantuan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sebagaimana juga ciri yang mencela sifat jahil, bebal dan anti-ilmu. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan teknologi di dunia Islam pada masa silam tidaklah terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep “bebalisme” secara sosiologis terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.
Dalam abad modern ini dimana renaisans atau kebangkitan umat didengungkan pembinaan budaya ilmu merupakan keharusan. Sebagaiman diingatkan oleh Anwar Ibrahim bahwa proses membangkitkan umat sangat terkait dengan upaya pengembalian posisi sentral pengetahuan dan pendidikan dalam masyarakat dengan memperkuat api semangat belajar dan mendorongnya untuk tertarik pada ladzzah al ma’rifah, kenikmatan berjumpa dengan pikiran-pikiran besar, ketakjupan dalam menemukan gagasan-gagasan baru. Membangun keutamaan budaya sebuah masyarakat merupakan kerja pemberdayaan aksara (Literally empowerment) terhadap mereka. Anwar Ibrahim juga mengingatkan akan permasalahan yang masih dialami sebagian besar dari umat ini, “Kita bangga dengan Islam sebagai agama yang banyak berbicara mengenai ilmu. Kata pertama yang pertama diturunkan dalam Quran adalah iqra’. Tetapi kita melihat kini sebagian besar muslim tidak dapat membaca. Sebagian yang bisa membaca tetapi tidak memahami. Mereka yang bisa membaca dan memahami sebagian terjebak pada buta huruf budaya (culturally illiterate). Salah satu fenomena buta huruf budaya ini terlihat pada sikap filistinisme, perhatian terhadap soal-soal dan kebiasaan yang remeh.
Satu sisi yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam adalah penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia Islam. Lembaga penulisan buku –waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di dunia Islam ketika itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi ilmiah di istana-istana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah). Sehingga tidak berlebihan jika Sardar menyebut juga kekhasan peradaban Islam dengan peradaban buku. Penyebaran buku melalui perdagangan juga sangat berkembang,. Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas para pedagang buku tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan sebagai tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia Islam di masa itu, Al Fihrist, sebuah karya yang terkenal dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang orientalis Denmark, J Pedersen dalam bukunya Fajar Inteletualisme Islam, Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di dunia Arab (terjemahan Indonesia dari The Arabic Book)

Posted on 30 October 2008 by Budiman
Catatan Rujukan
Wan Moh. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam. Pustaka. Bandung.1997
Wan Moh. Nor Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan. Pustaka Nasional. Singapore. 2003
Anwar Ibrahim. Renaisans Asia. Mizan. Bandung. 1998
Ziauddin Sardar. Wajah-Wajah Islam. Mizan. Bandung 1992
Ziauddin Sardar. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Mizan. Bandung,1986.
Ziauddin Sardar. Masa Depan Islam. Pustaka.Bandung 1989.
Ziauddin Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2000
Yusuf Qaradhawi. Menghidupkan Nuansa Robbaniah dan Ilmiah. Pustaka Al Kautsar. Jakarta, 1996.
Yusuf Qaradhawi. Rasul dan Ilmu. Rosda Karya Bandung.
J. Pedersen. Fajar Intelektualisme Islam. Mizan. Bandung. 1996.
Franz Rosenthal. Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al Farabi hingga Ibn Khaldun. Mizan. Bandung. 1996.
Syed Hussein Alatas. Intelektual Masyarakat Berkembang. LP3ES. Jakarta. 1988.
Fukuzawa Yukichi. Jepang Di Antara Feodalisme dan Modernisme (terj. Encouragement of Learning). Panca Simpati. Jakarta. 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar