Selasa, 21 Desember 2010

Seni Beriman Kepada Taqdir, Menjemput Peradaban Yang Gemilang Oleh: Anis Matta, Lc. (Ketua Pembina Institute of Future Civilization )

Dari 99 nama dan sifat Allah ada 4 yg paling banyak mendasari semua takdirNya; al 'ilm, al qudroh, al rahmah, al 'adl. Jadi walaupun Allah Maha Mengetahui dan Maha Mampu melakukan apa saja tetap saja kasih sayang dan keadilan-Nya mengalahkan angkara murka-Nya.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Mampu bertindak dan melakukan apa saja yg Ia kehendaki tapi juga Maha Penyayang dan Maha Adil. Itu sebabnya Allah tidak akan pernah menzalimi hambaNya walaupun Ia bisa kalau Ia mau karena Ia terlalu Pengasih dan terlalu Adil...

Itu yang menjelaskan mengapa seluruh takdirNya adalah kebaikan semata. Termasuk semua musibah yg menimpa hambaNya...itu pertanda cinta...

Diantara manfaat iman kepada takdir adalah bhw kita menemukan ruang tak terbatas untuk menafsir semua kelemahan dan keterbatasan kita.

Tapi di balik itu tetap ada harapan dan optimisme bahwa Allah selalu berkehendak baik kepada kita, apapun peristiwa yg ditimpakan kepada kita. Iman kepada takdir mempertemukan dua kutub ekstrim dalam diri kita; kepasrahan dan optimisme. Ketergantungan pada Allah dan rasa percaya diri. Itu yg memberi kita keseimbangan jiwa. Akhir dari semua kerja keras kita adalah kepasrahan, ujung dari semua kelemahan kita adalah optimisme.

Kita tidak perlu melawan kehendak Yang Maha Besar. Kita hanya perlu memahaminya lalu belajar berdamai dengan diri kita bahwa itulah yg terbaik untuk kita. Takdir adalah ide tentang bagaimana kita menafsir kekuatan dan kelemahan kita sebagai manusia, juga ide tentang skenario kehidupan dimana Allah adalah pusatnya.

Memadukan keperkasaan dan kasih sayang, kekuatan dan keadilan adalah sifat Allah yg menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam takdirNya. Lihatlah perjalanan hidup kita, bagaimana ia dipengaruhi begitu banyak faktor tapi semuanya tidak dalam kendali kita.
Kisah Nabi Yusuf bermula dari  sumur dan penjara, lalu berujung di istana dan berkumpul dengan semua keluarga, sebuah skenario kehidupan yg sempurna. Orang tua, suku, waktu dan tempat kelahiran orang-orang yang sezaman dengan kita, orang-orang yang kita temui dalam perjalanan hidup, semua tidak kita tentukan.

Pengaruhnya? Orang yang tidak beriman pada takdir selalu berada pada 2 kutub jiwa yg ekstrim; merasa hina waktu lemah..sombong dan melampaui batas waktu kuat. Tapi ujung cerita itu (kisah nabi Yusuf) adalah pernyataan bahwa "Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut (dalam mencapai) apa yang Ia kehendaki".

Mempertemukan kehendak kita dengan kehendak-Nya itulah yang disebut taufik . Pertemuan yang menciptakan harmoni kehidupan..damai dan tenang tiada henti. Adalah semata karena rahmat-Nya ketika Ia memberi kita kesempatan untuk memilih beriman atau tidak beriman, tapi akibat pilihan kita adalah takdirNya.

Waktu kalah dlm perang Uhud, Allah melarang kaum muslimin merasa lemah dan sedih. Mereka harus tetap merasa kuat sebab ini belum berakhir. Membaca takdir Allah adalah upaya yg tak boleh berhenti untuk memahami kehendak-Nya. Belajarlah menitipkan kehendak kita dalam kehendakNya.

Sebab jika Allah hendak menciptakan peristiwa dan memberlakukan kehendakNya, Ia menyiapkan semua sebab-sebabnya dan terjadilah semua takdir-Nya. Kita jadi kuat di ujung kelemahan manusiawi kita karena kita percaya pada kekuatan Allah yg tidak terbatas. Di ujung kelemahan kita selalu ada optimisme. Berhasil membaca kehendakNya dalam hidup kita akan memberi kita ketenangan jiwa yang takkan tergoyahkan oleh goncangan hidup, apapun kita merasa lebih pasti semua ketetapan Allah itu, yg didasarkan pada ilmu dan kemampuan, kasih sayang dan keadilan..diturunkan sbg takdir melalui pengaturan (tadbir).
Makanya Allah disebut sebagai Al Mudabbir atau yang mengatur dan merencanakan detil-detil kehidupan manusia. Hidup kita berjalan dalam scenario-Nya.

Rabu, 15 Desember 2010

Ilmu, Budaya Ilmu dan Peradaban Buku

Ilmu, pencarian ilmu, penyebaran ilmu memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam. Begitu banyak ayat dan hadist dapat dikutip untuk menerangkan hal ini. Pakar Ilmu Al Quran mengatakan pengulangan-pengulangan konsep-konsep kunci tertentu dalam Al Quran merupakan satu indikasi terhadap penekanannya atau makna penting konsep tersebut, konsep ‘ilm merupakan salah satu konsep yang banyak sekali disebutkan. Salah satu hadist yang bisa dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan keunggulan seorang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan bintang-bintang. Buku-buku klasik Islam semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali memulai kitab mereka dengan bab atau kitab mengenai ilmu. Peran penting ilmu diungkapkan secara ringkas oleh Imam Bukhari, Ilmu mendahului amal. Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan, “Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang tidak dilandasi pengetahuan akan runtuh.” Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi, ketika membahas seri pembahasannya mengenai kehidupan ruhaniah seorang muslim memulainya dengan pembahasan mengenai urgensi menegakkan kehidupan ruhaniah/ nuansa robbaniyah di atas landasan ilmiah. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi kehidupan spiritual yang terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang membimbing keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan gerakan Islam, beliau menempatkan prioritas sisi intelektual dan pengetahuan melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.
Peradaban islam klasik menjadikan ilmu menjiwai semua segi peradabannya Kecintaan terhadap pengetahuan, pemeliharaan terhadap pengetahuan dan penghargaan terhadap mereka yang berpengetahuan menjiwai peradaban muslim. Konsep ilmu, pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi peradaban Islam. Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan sebagaiman seorang orientalis, Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge in Medievel Islam’. Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim pertengahan.” Bahkan dalam konsep pengetahuan Islam pencarian ilmu, pengetahuan memiliki nilai kewajiban bagi individu maupun kolektif, fardu ‘ain dan fardu kifayah. Konsep pengetahuan dalam islam juga berhubungan dengan konsep ibadah, dimana pencarian dan penyebaran ilmu merupakan salah satu aspek ibadah. Seorang futurulog Muslim, Ziaudin Sardar, bahkan mengatakan sebenarnya peradaban muslim klasik yang tinggi itu secara keseluruhan ruhnya adalah pengetahuan : dengan mencarinya, menguasainya, membangun institusi untuk menyebarluaskannya, menuliskannya, membacanya, menyusunnya serta menumbuhsuburkannya.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu amat sangat terkait dengan adanya budaya ilmu di dalamnya, sebagaimana diungkapkan oleh Wan Moh. Nor Wan Daud. Budaya Ilmu merupakan prasyarat bagi kejayaan, kekuatan sebuah peradaban. Dari perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi tidak ditunjang oleh oleh budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya ilmu yang baik. Bangsa Jerman (yang masih biadab) terpaksa mengadopsi budaya Romawi yang ditaklukkannya, bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala justru malah terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat yang melibatkan diri dalam kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat, penghormatan terhadap ilmu dan orang berilmu, pemberian kemudahan, bantuan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sebagaimana juga ciri yang mencela sifat jahil, bebal dan anti-ilmu. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan teknologi di dunia Islam pada masa silam tidaklah terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep “bebalisme” secara sosiologis terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.
Dalam abad modern ini dimana renaisans atau kebangkitan umat didengungkan pembinaan budaya ilmu merupakan keharusan. Sebagaiman diingatkan oleh Anwar Ibrahim bahwa proses membangkitkan umat sangat terkait dengan upaya pengembalian posisi sentral pengetahuan dan pendidikan dalam masyarakat dengan memperkuat api semangat belajar dan mendorongnya untuk tertarik pada ladzzah al ma’rifah, kenikmatan berjumpa dengan pikiran-pikiran besar, ketakjupan dalam menemukan gagasan-gagasan baru. Membangun keutamaan budaya sebuah masyarakat merupakan kerja pemberdayaan aksara (Literally empowerment) terhadap mereka. Anwar Ibrahim juga mengingatkan akan permasalahan yang masih dialami sebagian besar dari umat ini, “Kita bangga dengan Islam sebagai agama yang banyak berbicara mengenai ilmu. Kata pertama yang pertama diturunkan dalam Quran adalah iqra’. Tetapi kita melihat kini sebagian besar muslim tidak dapat membaca. Sebagian yang bisa membaca tetapi tidak memahami. Mereka yang bisa membaca dan memahami sebagian terjebak pada buta huruf budaya (culturally illiterate). Salah satu fenomena buta huruf budaya ini terlihat pada sikap filistinisme, perhatian terhadap soal-soal dan kebiasaan yang remeh.
Satu sisi yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam adalah penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia Islam. Lembaga penulisan buku –waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di dunia Islam ketika itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi ilmiah di istana-istana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah). Sehingga tidak berlebihan jika Sardar menyebut juga kekhasan peradaban Islam dengan peradaban buku. Penyebaran buku melalui perdagangan juga sangat berkembang,. Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas para pedagang buku tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan sebagai tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia Islam di masa itu, Al Fihrist, sebuah karya yang terkenal dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang orientalis Denmark, J Pedersen dalam bukunya Fajar Inteletualisme Islam, Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di dunia Arab (terjemahan Indonesia dari The Arabic Book)

Posted on 30 October 2008 by Budiman
Catatan Rujukan
Wan Moh. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam. Pustaka. Bandung.1997
Wan Moh. Nor Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan. Pustaka Nasional. Singapore. 2003
Anwar Ibrahim. Renaisans Asia. Mizan. Bandung. 1998
Ziauddin Sardar. Wajah-Wajah Islam. Mizan. Bandung 1992
Ziauddin Sardar. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Mizan. Bandung,1986.
Ziauddin Sardar. Masa Depan Islam. Pustaka.Bandung 1989.
Ziauddin Sardar. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.2000
Yusuf Qaradhawi. Menghidupkan Nuansa Robbaniah dan Ilmiah. Pustaka Al Kautsar. Jakarta, 1996.
Yusuf Qaradhawi. Rasul dan Ilmu. Rosda Karya Bandung.
J. Pedersen. Fajar Intelektualisme Islam. Mizan. Bandung. 1996.
Franz Rosenthal. Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al Farabi hingga Ibn Khaldun. Mizan. Bandung. 1996.
Syed Hussein Alatas. Intelektual Masyarakat Berkembang. LP3ES. Jakarta. 1988.
Fukuzawa Yukichi. Jepang Di Antara Feodalisme dan Modernisme (terj. Encouragement of Learning). Panca Simpati. Jakarta. 1985.

Jumat, 03 Desember 2010

Menyongsong Peradaban Abad 21: Teori Peradaban Malik Bin Nabi


Makna Peradaban
Peradaban adalah objektifikasi kemauan dan kemampuan sebuah masyarakat dalam konteks ruang dan waktu. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban yang menghasilkan capaian-capaian. Dari definisi dan ukuran peradaban itu dapat kita pahami hal-hal berikut. (1) Peradaban adalah produk sebuah masyarakat. (2) Peradaban memiliki konteks ruang dan waktu. Ada proses kesejarahannya. (3) Peradaban dinilai dari capaiannya. Sehingga menggerakkan kembali sebuah peradaban tidak dapat dilakukan hanya sekedar menumpuk-numpuk capaian (produk) peradaban lain. Peradaban adalah sumber, sedangkan produk adalah hasil dari sumber itu, bukan kebalikannya.
Bagi Bin Nabi, persoalan peradaban inilah yang menjadi problem utama dunia Islam sekarang. Umat ini telah kehilangan peradabannya (sehingga ia kehilangan peran dalam sejarah) dan kemudian peradaban ini yang kemudian dicari dan diinginkannya sekarang. Persoalan peradaban ini bukanlah persoalan keyakinan terhadap Islam semata, tetapi bagaimana membuat nilai-nilai Islam menjadi efektif kembali secara sosial. Oleh karena itu perlulah diketahui bagaimana kaidah-kaidah atau pola-pola peradaban itu tumbuh, berkembang dan kemudian runtuh.
Peradaban mengalami siklus dalam sejarahnya. Siklus itu bisa digambarkan dalam skema pada gambar sebagai berikut. Sumbu X mewakili faktor waktu sedangkan sumbu Y mewakili nilai-nilai psiko-sosial yang ada atau mengendalikan gerak sebuah masyarakat. Titik A adalah titik awal kelahiran sebuah peradaban. Sedang garis C-D menggambarkan proses keruntuhan sebuah peradaban.



Kelahiran Peradaban
Titik A adalah awal kelahiran sebuah peradaban. Di titik awal peradaban ini modal yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah sama. Bin Nabi menggunakan persamaan, peradaban = manusia + tanah + waktu, untuk menganalisis modal awal peradaban ini. Tetapi untuk bisa memulai proses peradaban adanya ketiga faktor di atas belumlah cukup untuk menggerakkan proses itu. Untuk bisa bergerak perlu ada katalisator yang mensintesiskan ketiga faktor itu, katalisator itu adalah agama. Faktor agama inilah yang membedakan sebuah peradaban dengan peradaban lain. Titik A pada sejarah Islam adalah awal dakwah kenabian. Peran utama agama dalam proses peradaban itu bisa dianalisis pada perannya dalam merubah individu manusia menjadi pribadi yang mulai mengambil peran dalam masyarakat dan sejarahnya, dalam merubah pola interaksi manusia itu dengan tanahnya dan dalam merubah pandangan manusia terhadap waktu ( dari sekedar durasi menjadi waktu sosial).
Garis A-B menggambarkan proses menanjak sebuah peradaban. Fase ini adalah fase sakral sebuah peradaban. Nilai psiko-sosial yang membimbing fase ini adalah nilai-nilai ruhani (spiritual). Nilai inilah yang bisa mengkondisikan energi vital manusia sehingga dapat diarahkan (dikanalisasikan) ke dalam proses (kerja) peradaban. Daya cengkram nilai ini sedemikian kuat, sehingga kita mendapati dalam sejarah Islam seorang perempuan yang minta dihukum karena melakukan perzinahan.
Dinamika Sosial Peradaban
Dinamika sosial sebuah peradaban, yang darinya pencapaian-pencapaian peradaban dihasilkan, dibentuk dari tiga faktor dasar, yaitu dunia ide (idea), pribadi (person) dan benda (object). Setiap aksi sosial bisa dianalisis secara struktural kedalam tiga faktor ini. Pola aksi itu ditentukan oleh faktor ide, benda memberikan sarana dan pribadi merupakan faktor kepelakuan. Tetapi efektifitas dinamika sosial itu tidak ditentukan ketiga faktor itu. Adanya ketiga faktor itu tidak membuat sebuah masyarakat secara otomatis memiliki dinamika sosial yang baik. Ada faktor keempat yang membuat semua faktor itu menjadi efektif, yaitu jaringan sosial. Jaringan sosial inilah yang membuat sebuah masyarakat memiliki dinamika sosial yang bisa menghasilkan capaian-capaian peradaban. Sebuah penemuan (radio misalnya, sebagai contoh yang bersifat materi) dibangun dari efektifnya jaringan sosial masyarakat tersebut, ia muncul karena penyempurnaan-penyempurnaan penemuan sebelumnya. Pada tahap formatif sebuah peradaban, pada titik A sejarahnya, tugas untuk membangun jaringan sosial ini menjadi faktor krusial. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi ketika membangun perjanjian dan persaudaraan di Madinah kala itu.
Pada masa formatif peradaban, pada garis A-B, jaringan sosial ini berada pada taraf yang sangat mampat. Ia sudah mulai efektif; walaupun faktor ide, benda dan pribadi masih memiliki kekurangan. Selanjutnya jaringan sosial itu mengalami pelebaran yang distributif; seiring dengan berlimpahnya ide, pribadi dan benda; pada tahap B-C (saat-saat kejayaan sebuah peradaban).
Pada Masa-masa dinamis peradaban ini, nilai psiko-sosial yang membimbing manusia-manusia peradaban itu adalah nilai akal, rasionalitas. Daya cengkram rasionalitas atas energi vital (naluri/kebutuhan kehidupan dasar) manusia ini tidak sekuat yang diberikan oleh nilai spiritual (ruhiyah).
Terkait dengan kesejahteraan (kekayaan) sebuah masyarakat faktor yang amat berperan di sini selain selamatnya jaringan sosialnya adalah pada faktor ide. Ide menjadi kekayaan utama sebuah masyarakat, walaupun ia menderita kekurangan pada benda-benda. Bin Nabi mencontohkan, kerusakan sosial ekonomi yang diderita oleh Jerman pasca perang dunia kedua tidak menghalanginya untuk bangkit kembali karena masih memiliki kekayaan ide.
Apa muatan jaringan sosial yang menjadi basis dinamika sosial sebuah peradaban ? Muatan itu adalah muatan kultural. Kebudayaan oleh Bin Nabi diibaratkan oleh aliran darah yang mensuplai nutrisi ke dalam organ-organ tubuh. Kalau kita ibaratkan, jaringan sosial adalah jaringan aliran darah sedangkan muatan kultural adalah darah yang dialirkan kepada kepada faktor-faktor struktural masyarakat; ide, pribadi dan benda. Muatan kultural itu terdiri dari etika, estetika, logika-pragmatik dan teknik (shina’ah). Etika dan estetika menentukan tampilan peradaban. Sedangkan logika-pragmatik dan teknik menentukan dinamika peradabannya.
Keruntuhan Peradaban
Karena nilai rasionalitas tidak sekuat nilai spiritual dalam mengkondisikan diri manusia, naluri pada masa-masa kejayaan peradaban mulai mengalami pelepasan. Pada puncaknya jika naluri mengendalikan diri manusia, secara sosial sebuah peradaban sudah mulai meluncur menuju keruntuhan. Beginilah keruntuhan peradaban bermula, yaitu ketika naluri, insting mulai mengendalikan diri manusia. Kemudian rusakklah jaringan sosial masyarakat. Dengan kerusakan jaringan sosial ini ide, pribadi dan benda menjadi tidak efektif, sehingga dinamika sosial menjadi berhenti, pencapaian menjadi mandul. Kerusakan kemudian menyentuh faktor-faktor ini. Muncullah ide-ide yang beku dan mati bahkan mematikan. Muncullah penyembahan atas orang/pribadi. Muncullah ideologi bendaisme, dalam arti mengukur segala sesuatunya secara bendawi dan menumpuk-numpuk benda sebagai parameter kehidupan. Manusia yang muncul setelah titik C dalam diagram di atas adalah manusia pasca-peradaban, yang tidak lagi memiliki efektifitas untuk menggerakkan peradaban. Ini berbeda dengan manusia yang menjadi modal pada titik A (manusia pra-peradaban, Bin Nabi menyebutnya sebagai manusia fitrah). Ia mengibaratkan seperti beda antara air yang mengalir sebelum menggerakkan turbin pembangkit listrik dan air yang mengalir keluar dari turbin itu. Titik kejatuhan peradaban Islam dalam skema di samping bermula sejak zaman Ibn Khaldun.
Sumber: http://refleksibudi.wordpress.com/2008/12/22/teori-peradaban-malik-Bin Nabi

Selasa, 30 November 2010

Mengembalikan Peradaban Nan Gemilang

                    Sekarang untuk mengembalikan peradaban yang sama minimal umat harus memenuhi prasyarat sebagaimana umat terdahulu miliki.  Minimal umat memiliki pribadi-pribadi yang mampu menjadi tiang yang mengangkat bangunan peradaban. Maka untuk itu perlu disiapkan pribadi-pribadi, kader-kader yang se-kwalitas dengan kebenaran Islam. Ada dua kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang kader misi peradaban, tsaqafah dzatiyah dan tsaqarah mu’asharah. Tsaqafah dzatiyah adalah kumpulan pengetahuan dasar yang mencerminkan identitas kultural, pemikiran, jiwa, tabiat dan emosi umat. Dalam Islam tsaqafah dzatiyah adalah ilmu-ilmu keislaman dengan berbagai cabangnya. Adapun tsaqafah mu’asharah adalah ilmu-ilmu humaniora atau ilmu-ilmu yang sedang menjadi kebutuhan umat pada zamannya. Kedua ilmu itu harus tersusun secara hirarki, tsaqafah mu’asharah harus terbangun diatas tsaqafah dzatiyah. Karena tsaqafah dzatiayah lah yang menjamin kebenaran orientasi ilmu-ilmu humaniora dalam menjalankan fungsinya.
                  Untuk cita-cita diatas, orang Islam harus mengambil langkah berani yaitu mau mempersiapkan generasi-generasi yang dibutuhkan. Langkah konkret yang bisa ditempuh adalah memberi beasiswa untuk anak-anak Islam yang berpotensi.

IFC Kontributor Peradaban

Peradaban manusia silih berganti memimpin dunia. Berbagai Worldview, pandangan hidup dunia telah menciptakan wajah kehidupannya. Pandangan hidup beserta peradaban yang telah diciptakan, pada akhir perannya ada yang berakhir dengan bencana dan gagal membuktikan bahwa ia lah pandangan hidup yang membawa kesejahteraan bagi dunia.
Kini, Abab 21 peradaban Islam kembali tertantang untuk membuktikan perannya sebagaimana yang telah ia perankan pada abab-abad keemasannya. Manusia-manusia muslim kembali menjadi pusat perhatian. Ia dituntut untuk mampu membumikan ajaran-ajaran Islam yang telah terbukti menciptakan peradaban masa lalu yang cemerlang, yang telah berhasil membawa manusia kepada kesejahteraan. Tapi perlu diingat, pada masa itu pribadi-pribadi muslim mampu menjadi pribadi yang berhasil dalam mentransformasi kebenaran Islam dalam realitas kehidupan. Pribadi- pribadi itu selain berpemahaman mendalam tentang Islam sebagai keyakinan pada waktu yang sama mereka juga pribadi-pribadi yang mempu menyatukan visi dunia dan visi akhirat. Mereka adalah pribadi-pribadi yang senantiasa on mission hingga lahirlah peradaban Islam.


Landasan: 
Al Quran surat Al Imaran ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…,”
Al Quran surat Al Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al Quran surat An Nur ayat 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka…,”

Penasehat
M. Anis Matta, Lc.
Fahri Hamzah, SE.
Ir. Marwan Batubara, M,Sc.
Ahmad Zainudin, Lc.
Hariyono, SE.
Fakhruddin Salim, Lc

Ketua Program  : Wiwid Purwawan, Lc, M.Si
Sekretaris Program: Muhammad Ilyas, Lc.
  Divisi Riset
M. Isnan Lc, M.Si
Ahmad Muthi’ Lc, M.Si
Abdur Rahim, Lc.
  Divisi Pembinaan
Nandar Sunandar, Lc.
  Divisi Kerjasama antar  Lembaga  
     . Muhammad Arham, Lc, Al Hafizh